Namun demikian, hanya sedikit atau bahkan mungkin sangat langka
manusia yang benar-benar memahami makna dari kebahagiaan itu sendiri.
Hal ini dapat kita lihat dalam panggung kehidupan manusia di zaman ini,
di mana dunia dipenuhi dengan berbagai macam persoalan besar, yang
sebenarnya bersumber dari masalah kecil yang tidak segera diatasi.
Sebagai contoh, manusia hari ini lebih suka dengan hal-hal yang
bersifat instan. Padahal, alam ini memiliki hukum proses di dalamnya.
Seperti itu pula dalam kehidupan manusia. Tidak ada keberhasilan
melainkan mensaratkan usaha, ikhtiar dan do’a bahkan pengorbanan di
dalamnya. Sayang, manusia selalu ingin serba cepat.
Mengapa kasus penipuan sangat marak di era modern ini? Sampai
urusan-urusan ibadah saja masih sempat-sempatnya disusui penipuan. Semua
tidak lain karena telah terjadi kerusakan cara berpikir. Umumnya orang
ingin kaya secepat kilat. Ibaratnya, kalau bisa tanpa usaha (bahkan
kalau perlu tanpa pengorbanan) kenapa tidak dilakukan?
Perilaku hidup seperti itu pula yang mendorong praktik korupsi dan
kolusi di negeri ini sulit dibereskan. Akhirnya, prinsip persaudaraan,
saling mengasihi, saling menolong (ta’awun), sudah sulit lagi kita
temukan. Semua diukur dengan dunia (uang).
JIka ada orang mengalami musibah kecelakaan, kemudian diantar ke
tempat berobat, pertanyaan pertama dari pihak pengelola tempat berobat
adalah; Apakah yang bersangkutan memiliki jaminan uang atau tidak?
Jarang sekali yang langsung sigap memberi pertolongan, kecuali secara
kasat mata terlihat sebagai manusia berduit. Jika tidak,maka pelayanan
pun akan diberikan asal-asalan.
Beberapa kasus kita saksikan, orang berebut menjarah truk atau mobil
yang sedang ditimpa musibah kecelakaan. Bukan menolong penumpangnya
agar selamat dari musibah, justru masyarakat ‘menari-nari’ di atas
penderitaan yang terkena musibah.
Di sisi lain, masyarakat saat ii mulai banyak terseret pada pola
hidup mubadzir dan sia-sia. Betapa banyak, masyarakat disibukkan dengan
jadwal orang lain, ibaratnya, hidupnya digerakkan dan didekte oleh
industri?
Anak remaja dan para pamuda sibuk dengan smart phone-nya, hingga
lupa jadwal kehidupan nya yang jauh lebih penting. Mereka asyik
berkomunikasi via on-line, seolah lupa hal-hal penting lain. Ibu putri
mereka sibuk jadwal sinotron, sementara ayahnya sibuk mengikuti jadwal
pertandingan bola, hingga lupa shalat dan duduk bersimpuh di hadalan
Allah Subhanahu wata’ala.
Pertanyaannya, mengapa manusia modern sekarang berpola pikir dan
berpola hidup seperti itu? Tiada lain karena orientasi hidupnya yang
sangat dekat (dunia dan segala kesenangan di dalamnya), sehingga tidak
mampu melihat perkara-perkara penting yang sangat dibutuhkan bagi
kehidupan asasinya. Inilah akar dari materialisme, cinta dunia lupa
akhirat.
Utamakan Akhirat
Jika cara-cara hidup mayoritas manusia modern sebagaimana terpapar di
atas ternyata tidak mendatangkan kebahagiaan, lantas bagaiamana agar
kebahagiaan itu bisa terwujud?
Tiada lain kecuali dengan mengikuti jejak Nabi Muhammad saw, yakni dengan mengutamakan akhirat dengan tidak melupakan dunia.
وَابْتَغِ فِيمَا آتَاكَ اللَّهُ الدَّارَ الْآخِرَةَ وَلَا تَنسَ
نَصِيبَكَ مِنَ الدُّنْيَا وَأَحْسِن كَمَا أَحْسَنَ اللَّهُ إِلَيْكَ
وَلَا تَبْغِ الْفَسَادَ فِي الْأَرْضِ إِنَّ اللَّهَ لَا يُحِبُّ
الْمُفْسِدِينَ
“Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu
(kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu
dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain)
sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu
berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai
orang-orang yang berbuat kerusakan.” (QS: Al-Qashashash [28] : 77).
Jadi, kebahagiaan itu akan benar-benar kita rengkuh apabila kita
mengutamakan akhirat (menjalankan semua perintah Allah dan menjauhi
semua larangan-Nya) sembari terus berusaha memperbaiki kondisi ekonomi
keluarga dengan cara yang halal, tekun dan penuh kesungguhan.
Pada saat yang sama, kita berusaha berbuat baik terhadap sesama
dengan penuh kesungguhan hati, sehingga tercipta kehidupan yang rukun,
damai dan indah. Petuah dari tanah Sunda mengatakan, dalam hidup ini
kita harus saling asah, asih dan asuh. Jadi, tidak boleh kita saling
benci, saling bermusuhan, dan saling menjelekkan.
Kesengsaraan
Siapa yang lebih suka membenci saudara seimannya daripada mencintai,
menyayangi dan mengasihinya, maka kecelakaan besar akan menjumpainya.
Apalagi, jika semua itu dilakukan semata-mata hanya karena urusan dunia,
sungguh kebinasaan akan menghampirinya. Sebagaimana telah dialami oleh
Fir’aun, Qarun, Haman, Abu Jahal, Abu Lahab, termasuk Tsa’labah.
Dalam hal ini, Rasulullah saw bersabda, “Barangsiapa yang kehidupan
akhirat menjadi tujuan utamanya, niscaya Allah akan meletakkan rasa
cukup di dalam hatinya dan menghimpun semua urusan untuknya serta
datanglah dunia kepadanya dengan hina.
Barangsiapa yang kehidupan dunia menjadi tujuan utamanya, niscaya
Allah meletakkan kefakiran di hadapan kedua matanya dan menceraiberaikan
urusannya dan dunia tidak bakal datang kepadanya, kecuali sekedar yang
telah ditetapkan untuknya.” (HR. Tirmidzi).
Berkenaan dengan hadits tersebut, Syeikh Muhammad Nashiruddin
Al-Albani memberi uraian tentang orang yang menjadikan dunia sebagai
tujuan utamanya sebagai orang yang akan mengalami kerugian dan
kesengsaraan.
Syeikh Al-Albani menjelaskan bahwa arti ‘menceraiberaikan urusannya’
yaitu urusan-urusannya yang sudah tersusun rapi justru menjadi
berantakan.
Dengan demikian, kita harus berusaha membebaskan diri dari ancaman
kesengsaraan tersebut dengan mencintai akhirat tanpa lupa dunia. Atau
dengan bahasa lain; kuasai dunia jangan cintai, melainkan akhirat.
Niscaya Allah akan memberikan kebahagiaan di dunia dan surga di akhirat.
Terhadap orang yang seperti itu, Allah memerintahkan kita untuk
menjauhinya, karena orang yang hanya cinta dunia adalah orang yang
pengetahuannya tidak menambah apapun, melainkan terus menambah kesesatan
dan kesengsaraan (QS. Al-Najm [53] : 29 – 30).
Hakikat Dunia
Untuk mengutamakan akhirat atas dunia maka kita perlu merenungkan
sabda Nabi Muhammad saw yang diriwayatkan oleh Ummul Mukminin Sayyidah
Aisyah ra.
“Dunia ini adalah tempat tinggal orang yang tidak mempunyai rumah,
harta bagi orang yang tidak mempunyai harta benda. Dan karenanya (dunia)
orang-orang yang tidak berakal berlomba-lomba untuk mengumpulkannya.”
(HR. Ahmad).
Disamping itu Rasulullah juga memberikan anjuran kita untuk berdoa
seperti ini; “Allahumma latajaliddunya akbara hammina, wala mablaga
ilmina” (Ya Allah, janganlah Engkau jadikan dunia ini sebagai puncak
cita-cita dan tujuan akhir pengetahuan kami).
Jadi, siapa yang hidup untuk harta, maka dia akan menjadi pewaris
Qarun. Siapa yang hidup untuk tahta maka ia akan menjadi pewaris
Fir’aun. Dan, siapa yang cinta hawa nafsu, dia akan menjadi bagian dari
tentara setan.
Dan, tidaklah semua pewaris dunia itu kecuali berakhir di dalam
neraka yang menyala-nyala. Na’udzubillahi min dzalik. Lantas, masihkah
kita akan menyandarkan kebahagiaan hidup kita pada dunia dan
mengorbankan akhirat yang sangat kita butuhkan? Padahal, ridha Allah
yang merupakan sumber kebahagiaan terindah, hanya untuk hamba-Nya yang
mengutamakan akhirat di atas dunia.*/Imam Nawawi
0 komentar:
Posting Komentar
Berkomentarlah Yang Baik Dan Layak Dikonsumsi Oleh Publik.
NO SARA, SPAM, Dan Sejenisnya.